KATA PENGANTAR
Assalaamualaikum wrwb
Alhamdulillahirabbil”alamin, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah serta inayahNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Teori Brunner dan Teori Ausubel.
Dalam penyusunan makalah ini, diperoleh bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Bp Mukhlisin, S.Pd. yang telah memberikan kesempatan bereksplorasi.
2. Kedua orang tua yang dengan tidak pernah lelah memberikan dorongan, bantuan dan doanya.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan dukungannya.
Disadari atau tidak dalam penyusunan makalah ini, masih banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak akan diterima dengan senang hati. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalaamualaikum wrwb
Yogyakarta, oktober 2011
Hormat kami
Tim Penulis
DAFTAR ISI
1. Halaman Judul.............................................................................................................. (i)
2. Kata Pengantar............................................................................................................. (ii)
3. Daftar Isi...................................................................................................................... (iii)
4. Pendahuluan................................................................................................................. 1
a. Latar Belakang....................................................................................................... 1
5. Pembahasan.................................................................................................................. 2
Bruner
a. Riwayat Hidup Bruner........................................................................................... 2
b. Teori Bruner dan Perkembangannya...................................................................... 3
c. Prinsip-prinsip Belajar............................................................................................ 9
d. Penerapan Teori Bruner.......................................................................................... 12
Ausubel
a. Riwayat Hidup Ausubel......................................................................................... 12
b. Teori Ausubel dan perkembangannya.................................................................... 13
c. Prinsip-prinsip Belajar............................................................................................ 15
d. Penerapan Teori Ausubel........................................................................................ 17
6. Penutup........................................................................................................................ 19
a. Kesimpulan............................................................................................................. 19
7. Daftar Pustaka.............................................................................................................. 20
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.
Dalam proses pembelajaran, diperlukan metode atau cara dalam belajar maupun pembelajaran yang dapat memudahkan peserta memahami isi atau materi dari pembelajaran itu sendiri. Diharapakan guru untuk bisa menyesuaikan pembelajaran seperti apa yang sesuai dalam ruang lingkup itu, agar tujuan pembelajaran tercapai. Seorang guru juga harus memahami perilaku anak didiknya dan tidak bersikap apastis. Untuk itu dalam ilmu pendidikan, digunakan teori teori psikologi yang tujuannya pembelajaran yang efektif itu bisa terlaksana.
Dalam pendidikan diperlukan ilmu psikologi, yag sering disebut psikologi pendidikan. Dalam psikologi pendidikan ini banyak sekali dikemukakan teori-teori pembelajaran. Teori pembelajaran tersebut banyak dikemukakan oleh tokoh tokoh psikologi. Antara lain, Piaget, Vaigotsky, Van Hill, Thorndike, Jerome Bruner, David Paul Ausubel. Namun dalam makalah ini akan dibahas teori Bruner dan Ausubel.
PEMBAHASAN
1. Jerome Bruner
A. Riwayat Hidup Bruner
Jerome Bruner lahir di New York pada tahun l915. Pada usia dua tahun, ia menderita penyakit katarak dan harus dioperasi. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 12 tahun yang menyebabkan ia harus pindah ke rumah saudaranya dan sering putus sekolah dan pindah-pindah sekolah. Meskipun demikian, prestasinya cukup baik ketika masuk Duke University Durham, New York City. Ia memperoleh gelar B.A pada tahun 1937 dan memperoleh gelar Ph.D dari Harvard University tahun 1941. Bruner juga seorang profesor psikologi di Harvard University 1952-1972 dan di Oxford University 1972-1980. la menghabiskan waktunya di New York University School of Law dan New School For Social Research di New York City. Saat berumur kurang lebih 45 tahun, Bruner menekuni psikologi kognitif sebagai suatu alternatif teori behavioristik dalam psikologi sejak pertengahan abad ke-20.
Pendekatan kognitif Bruner menjadikan reformasi pendidikan di Amerika Serikat dan juga di Inggris. Selain sebagai psikolog, ia juga termasuk Dewan Penasihat Presiden bidang sains pada masa Presiden Jhon F. Kennedy dan Jhonson serta banyak menerima penghargaan dan kehormatan termasuk International Baldan Prize, medali emas CIBA untuk riset dari Asosiasi Psikologi Amerika. Ia juga bertugas sebagai profesor psikologi di Harvard University di Amerika Serikat
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik yaitu penelitiannya meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
B. Teori Bruner dan Perkembangannya
Teori belajar Bruner dikenal sebagai teori belajar kognitif. Teori belajar kognitif ini menyatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada dari luar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengalaman itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan itu, teori psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam berfikir, yakni proses pengelolaan informasi.
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Tidak seperti model belajar behavioristik, yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan stimulus-respon. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perseptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Teori kognitif ini berpandangan bahwa, belajar merupakan suatu proses interaksi yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya
Bruner ternyata tidak mengembangkan suatu teori belajar yang sistematis. Yang penting baginya ialah cara-cara bagaimana orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari belajar. Oleh karena itu, Bruner memusatkan perhatiannya pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterimanya, dan apa yang dilakukannya sesudah memperoleh informasi itu untuk mencapai pemahaman yang memberikan kemampuan padanya.
Yang menjadi ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar di kelas. Untuk itu, Bruner menyatakan bahwa murid mengorganisir bahan yang dipelajari dalam suatu bentuk akhir. Teori ini disebut dengan discovery learning atau dengan kata lain bagaimana cara orang memilih mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif. Menurut Bruner dalam proses belajar ada tiga tahap, yaitu:
1. Tahap Informasi (tahap penerimaan materi)
Yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru. Dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi yang berfungsi sebagai penambahan pengetahuan yang lama, memperluas dan memperdalam, namun ada kemungkinan informasi yang baru bertentangan dengan informasi yang lama. Dalam tahap ini, seorang siswa sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
2. Tahap Transformasi (tahap pengubahan materi)
Yaitu tahap memahami, mencerna, dan menganalisis informasi baru. Dan informasi tersebut ditransformasikan dalam bentuk yang baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain. Namun informasi tersebut harus dianalisis dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan dalam hal lebih luas.
3. Tahap evaluasi
Yaitu tahap untuk mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap kedua benar atau tidak. Pada tahap ini, informasi tadi dapat dinilai sehingga dapat juga diketahui informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau tidak. Seseorang dapat menilai sendiri sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan untuk memahami gejala atau masalah yang sedang dihadapi. Informasi baru merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Atau informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi, pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
Model kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan bagaimana informasi itu diproses. Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (Advance Organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu: enaktif, ikonik, dan simbolik.
1. Tahap Enaktif
Seseorang melakukan aktivitas-aktivitasnya sebagai upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Biasanya terjadi pada anak yang berumur 0-2 tahun. Dalam memahami dunia sekitarnya, anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya. Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
2. Tahap Ikonik
Biasanya terjadi pada anak yang berumur 2-4 tahun. Seorang anak memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampilan) dan perbandingan (komperasi). Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga tidak menyatakan konsep kesegitigaan.
3. Tahap Simbolik
Seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Biasanya terjadi pada anak yang berumur 5-7 tahun. Dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses pemikirannya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu, tidak berarti ia tidak lagi sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ekonik dalam proses belajar. Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang yang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek.
Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, kemudian jika tahap belajar yang pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik. Selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret, misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya. Selanjutnya kegiatan belajar dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut. lalu dihitung banyaknya kelereng semuanya dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut. Pada tahap yang kedua ini bisa juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu 3 + 2 = 5.
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori belajar yang dikenal dengan nama Belajar Penemuan atau “Discovery Learning”. Yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen. Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
Langkah-langkah discovery learning
1. Siswa dihadapkan pada problem-problem yang menimbulkan suatu perasaan gagal di dalam dirinya ini dimulai proses inquiry (penyelidikan)
2. Siswa mulai menyelidiki problem itu secara individual
3. Siswa berusaha memecahkan problem dengan menggunakan pengetahuan yang sebelumnya
4. Siswa menunjukkan pengertian dari generalisasi itu
5. Siswa menyatakan konsepnya atau prinsip-prinsip dimana generalilisasi itu didasarkan.
Di samping itu, ada beberapa saran – saran tambahan yang berdasarkan pendekatan discovery learning terhadap pengajaran yaitu :
1. Mendorong memberikan “dugaan sementara” dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
2. Menggunakan berbagai alat peraga dan permainan
3. Guru harus mendorong siswa untuk memuaskan keingin tahuan jika mereka ingin mengembangkan pikirannya atau ide-ide yang kadang-kadang tidak langsung berhubungan dengan mata pelajaran
4. Menggunakan sejumlah contoh yang belawanan dengan mata pelajaran yang berhubungan dengan topik.
Dengan metode Discovery Learning ini, anak akan mencapai keputusan karena telah menemukan problem sendiri. Seorang murid yang telah terlatih dengan Discovery Learning akan mempunyai skill dalam pekerjaannya lewat problem-problem riil di dalam lingkungannya. Bruner mengembangkan metode belajar dengan discovery ini karena ia ingin memperbaiki pengajaran yang selama ini hanya mengarah pada menghafal fakta-fakta saja, tidak memberikan pada murid pengertian tentang konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam pelajaran.
Dalam setiap teori, pastilah ada keistimewaan dan kelemahan. Begitu juga halnya dengan teori discovery learning yang cetuskan oleh Jerome Bruner.
Ada beberapa keistimewaan discovery learning itu, antara lain:
a. Discovery learning menimbulkan keingintahuan siswa, dapat memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaan sampai mereka menemukan jawaban-jawaban.
b. Pendekatan ini dapat mengajar keterampilan menyelesaikan masalah secara mandiri dan mungkin memaksa siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi dan tidak hanya menyerap secara sederhana saja
c. Hasilnya lebih berakar daripada cara belajar yang lain
d. Lebih mudah dan cepat ditangkap
e. Berdaya guna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam penalaran
Adapun kelemahan discovery learning diantaranya :
a. Belajar discovery learning belum tentu bisa diaplikasikan karena kondisi dan sistem yang belum mendukuag penemuan sendiri, sementara secara realistis murid didominasi hanya menerima dari guru
b. Discovery learning belum tentu semua murid mahir untuk menerapkannya
c. Discovery learning berbahaya bagi murid yang kurang mahir, sebab pengetahuan yang ia peroleh tidak akan menambah pengetahuan yang sempurna tapi baru sebatas coba-coba.
Karena teori Bruner banyak menuntut pengulangan-pengulangan, maka sesuatu yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral”. Kurikulum spiral ini menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang lebih kompleks, yakni materi yang sebelumnya sudah diberikan, suatu saat akan muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
C. Prinsip-Prinsip Belajar
Menurut Bruner ada empat prinsip tentang cara belajar dan mengajar matematika yang disebut teorema. Keempat teorema tersebut adalah teorema penyusunan (Construction theorem), teorema notasi (Notation theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras and variation theorem), dan teorema pengaitan (Connectivity theorem).
1. Teorema penyusunan (Construction theorem)
Teorema ini menyatakan bahwa bagi anak cara yang paling baik untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan penyusunan representasinya. Pada permulaan belajar, konsep pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menunjukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri. Dalam proses perumusan dan penyusunan ide, jika disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide tersebut. Dengan demikian, anak lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam hal ini ingatan diperoleh bukan karena penguatan, akan tetapi pengertian yang menyebabkan ingatan itu dapat dicapai. Sedangkan pengertian itu dapat dicapai karena anak memanipulasi benda-benda konkrit. Oleh karena itu, pada permulaan belajar, pengertian itu dapat dicapai oleh anak bergantung pada aktivitas-aktivitas yang menggunakan benda-benda konkrit.
Sebagai contoh, untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 3 + 4 = 7, siswa bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 3 kotak dan 4 kotak pada garis bilangan. Dengan mengulangi hal yang sama untuk dua bilangan yang lainnya anak-anak akan memahami konsep penjumlahan dengan pengertian yang mendalam.
2. Teorema Notasi
Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakansebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak. Sebagai contoh pada permulaan konsep fungsi diperkenalkan pada anak SD kelas-kelas akhir, notasi yang sesuai menyatakan fungsi .... = 2 ... + 3. Untuk tingkat SMP notasi fungsi dituliskan dengan y = 2x + 3. Setelah anak memasuki SMA atau perguruan tinggi, notasi fungsi dituliskan dengan f(x) = 2x + 3.
Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling komplek. Urutan penggunaan notasi ini disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif anak.
3. Teorema pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan keanekaragaman. Artinya, agar suatu konsep yang akan dikenalkan pada anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Dengan demikian, anak dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh.
Sebagai contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberika bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil. Sebagai contoh lain, untuk menjelaskan pengertian persegipanjang, anak harus diberikan contoh bujursangkar, belahketupat, jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegipanjang. Dengan demikian, anak dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan termasuk persegipanjang atau tidak.
Dengan contoh soal yang beranekaragam tersebut, dapat digunakan suatu konsep yang lebih baik daripada contoh-contoh soal yang hanya sejenis saja. Dengan keanekaragaman, contoh yang diberikan siswa dapat mengenal dengan jelas karakteristik konsep yang diberikan kepadanya. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegi panjang, persegi panjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi, misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi. Ada yang kedua sisinya yang berhadapan terletak horisontal dan dua sisi yang lainnya vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya.
4. Teorema pengaitan (Konektivitas)
Teorema ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat. Bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu merupakan prasyarat bagi materi yang lainnya. Atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya, konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Pythagoras atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
Guru harus dapat menjelaskan keterkaitan materi tersebut kepada siswa. Hal ini sangat penting bagi siswa dalam belajar matematika. Dengan mengetahui keterkaitan tersebut, diharapkan siswa tidak beranggapan bahwa cabang-cabang dalam matematika itu berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan cabang lainnya. Perlu dijelaskan bahwa keempat teorema tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu persatu dengan urutan seperti di atas. Dalam penerapannya, dua teorema atau lebih dapat diterapkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran suatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar.
D. Penerapan Teori Bruner
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan :
a. Disajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
Misalnya : akan diberikan contoh bangun datar segiempat. Namun diberikan juga contoh yang bukan bangun datar segiempat, seperti segitiga, lingkaran, segilima, dsb.
b. Membantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
Misalnya dengan memberikan pertanyaan kepada si belajar seperti “apakah nama ubin yang sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin yang digunakan?”
c. Memberikan satu pertanyaan dan membiarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya memberikan pertanyaan tentang apa ciri-ciri dan sifat dari ubin tersebut, dan membiarkan siswa mencari jawabannya sendiri.
d. Mengajak dan memberi semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya
Misalnya jika seorang siswa mengajukan pernyataan, hendaknya guru tidak boleh mengomentarinya terlebih dahulu. Dan seorang guru menggunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
2. Teori Ausubel
A. Riwayat Hidup Ausubel
Ausubel was born on October 25th, 1918 and grew up in Brooklyn, New York. He studied at the University of Pennsylvania where he graduated with honors in 1939, receiving a bachelor's degree majoring in Psychology. Ausubel later graduated from medical school in 1943 at Middlesex University where he went on to complete a rotating internship at Gouveneur Hospital, located in the lower east side of Manhattan, New York. Following his military service with the US Public Health Service, Ausubel earned his M.A. and Ph.D. in Developmental Psychology from Columbia University in 1950. After, a series of psychological professorships ensued at schools of education.
David Ausubel first introduced his theory of Meaningful Learning in 1962 under the title, "A Subsumption Theory of Meaningful Learning and Retention." In 1963, he published The Psychology of Meaningful Verbal Learning, elaborating on the ideas presented earlier. Finally in 1968, a more comprehensive view of his ideas was published in Educational Psychology: A Cognitive View (Ausubel, 1968). The first formulation of Ausubel’s assimilation theory was done in 1938 as a term paper for a psychology of learning course at the University of Pennsylvania. In 1949, he revised and expanded his ideas in a term paper in a course taught by Robert Thorndike at Teachers College, Columbia University. It should be remembered that the late 1930s to the early 1960s when Ausubel was formulating his ideas was also the heyday of behavioral psychology.
The importance of this epistemology to the current status of assimilation theory will be illustrated. In 1973, Ausubel retired from academic life and devoted himself to his psychiatric practice. During his psychiatric practice, Ausubel published many books as well as articles in psychiatric and psychological journals. In 1976, he received the Thorndike Award from the American Psychological Association for "Distinguished Psychological Contributions to Education".
B. Teori Ausubel dan Perkembangannya
Menurut Ausubel belajar adalah proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan terjadi dalam kemampuan seseorang untuk bertingkah laku dan berbuat dalam situasi tertentu, perubahan dalam tingkah laku hanyalah suatu reflek dari perubahan internal (berbeda dengan aliran behaviorisme, aliran kognitif mempelajari aspek-aspek yang tidak dapat diamati secara langsung seperti, pengetahuan, arti, perasaan, keinginan, kreativitas, harapan dan pikiran).
Menurut beliau (Dahar 1996) bahan subyek yang dipelajari siswa haruslah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran yaitu informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Menurut Ausubel, pemecahan masalah yang sesuai akan lebih bermanfaat bagi siswa dan merupakan strategi yang efisien dalam pembelajaran. Kekuatan dan makna proses pemecahan masalah dalam pembelajaran sejarah terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peranan pada kumpulannya. Untuk melancarkan proses tersebut, maka diperlukan bimbingan secara langsung dari guru, baik secara lisan maupun dengan tingkah laku, ketika siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri.
Ausubel telah mengemukakan model pengajaran ekspositori, yaitu guru menyampaikan pelajaran dengan lengkap dalam susunan yang teratur agar pelajar dapat menerimanya dengan baik. Menurut Ausubel, guru dalam memberikan pelajaran juga harus secara tersusun dan teratur kepada pelajar dalam bentuk kuliah dan ceramah. Akan tetapi, walaupun guru memberi pelajaran, ide atau respon pelajar, dapat didiskusikan bersama dalam proses pembelajaran. Belajar penangkapan ini pertama kali dikembangkan oleh David Ausable sebagai jawaban atas ketidakpuasan model belajar discovery yang dikembangkan oleh Jerome Bruner. Menurut Ausubel , siswa tidak selalu mengetahui apa yang relevan untuk dirinya sendiri, sehingga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah.
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel ini merupakan psikologi pendidikan untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Konsep belajar bermakna David Ausubel yaitu Belajar bermakna (meaningful learning) dan Belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar yakni informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan Noeng Muhadjir mengatakan bahwa belajar bermakna yang dimaksud Ausubel adalah dimilikinya kesiapan belajar karena telah memahami kebutuhan individual dari apa yang sedang dan akan dipelajari. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Ausubel memberikan perhatian besar pada siswa di sekolah dengan memperhatikan ataupun memberikan tekanan-tekanan pada unsur-unsur bermakna dalam belajar, melalui bahasa (meaningful verbal learning). Bermakna diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah ataupun prinsip. Maka, belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Ausubel mengakui bahwa pengetahuan dan pemahaman yang baru harus diintegrasikan ke dalam kerangka kognitif yang sudah dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu, Ausubel tidak memandang belajar dengan menghafal saja sebagai hasil belajar yang bermakna, karena hasil itu tidak dikaitkan dengan isi dalam kerangka kognitif yang tersusun secara hierarkis apalagi diintegrasikan kedalamnya. Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Penyajian Advance Organizer
Advance organizer merupakan pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang tercakup dalam urutan pengajaran. Advance organiser berfungsi untuk menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berada di dalam pikiran siswa. Advance organizer ini memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat spesifik yang telah disajikan.
2. Penyajian Materi atau Tugas Belajar
Dalam tahap ini, guru menyajikan materi pembelajaran yang baru dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa. Ausubel menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan pentingya pengorganisasian materi pelajaran yang dikaitkan dengan struktur yang terdapat di dalam Advance Organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif yaitu pembelajaran berlangsung secara bertahap dimulai dari konsep umum menuju kepada konsep yang lebih spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.
3. Memperkuat Organisasi Kognitif
Ausubel menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, dengan cara mengingatkan siswa bahwa rincian yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran, siswa diminta mengajukan pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap materi yang baru dipelajari. Dalam tahap ini siswa diharapkan menghubungkan dengan materi yang telah dimiliki.
C. Prinsip-Prinsip Belajar
David Ausubel mengemukakan lima prinsip utama yang harus diperhatikan di dalam proses belajar, yakni :
1. Subsumption
Yaitu proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang telah lalu yang telah dimiliki. Ilmu yang dipelajari oleh pelajar dari berbagai bidang akan menjadi struktur kognitif yang boleh diasimilasikan melalui proses subsumption. Pembelajaran bermakna boleh dilakukan melalui subsumption. Dalam hal ini terdapat 2 macam subsumption yakni:
a. Derivative Subsumption
Learning of new examples or cases that are illustrative of an established concept or previously learned proposition, existing idea remains unchanged. Yaitu sejenis subtansi yang berlangsung ketika materi baru dapat diketahui.
Sebagai contoh, guru memberitahu pelajar bahwa semua binatang liar adalah bahaya. Apabila pelajar mempunyai pengalaman dengan binatang liar seperti melihat harimau di kebun binatang, pemikirannya akan bertindak secara subsumption terbitan, yaitu “ Harimau adalah binatang liar. Oleh itu, harimau adalah seekor binatang berbahaya.
b. Correlative Subsumption
Elaboration, extension or modification of previously learned concepts or propositions by the subsumption of the incoming idea; existing idea is changed/expanded trough new idea. Yaitu sebuah tipe pembelajaran yang berlangsung ketika informasi baru memerlukan penjelasan karena sebelumnya belum diketahui.
Dalam proses subsumption korelatif, pemahaman diterima melalui proses pengembangan makna dalam struktur kognitif. Ini berarti konsep yang telah dipelajari, dikembangkan lagi dalam pemikiran pelajar. Sebagai contoh, seorang anak telah mempelajari fakta ayam betina bertelur. Apabila anak tersebut melihat penyu bertelur di pantai pada musim cuti sekolah, maka ia dapat mengaitkan pengalaman ini dengan fakta yang telah disampaikan oleh gurunya dan dapat mengaitkan kedua peristiwa dalam struktur kognitifnya. Anak itu juga memperoleh pelajaran tambahan kerana dapat melihat bagaimana proses penyu bertelur.
2. Organizer
Yaitu usaha mengintegrasikan pengalaman lalu dengan pengalaman baru sehingga menjadi satu kesatuan pengalaman. Dengan prinsip ini, diharapkan pengalaman yang diperoleh itu bukan merupakan pengalaman yang satu dengan yang lainnya hanya berangkai-rangkai saja, yang mudah lepas dan hilang kembali.
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Penggunaan pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
3. Progressive differentiation
Bahwa di dalam belajar, sesuatu yang lebih umum harus lebih dulu muncul sebelum sampai kepada sesuatu yang lebih spesifik. Dalam proses belajar bermakna, perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Dengan metodenya yaitu unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan terlebih dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, sehingga proses pembelajaran dari umum ke khusus, dan disertai dengan contoh-contoh.
4. Konsolidasi
Yaitu suatu pelajaran harus terlebih dahulu dikuasai sebelum melanjutkan pada pelajaran berikutnya. jika pelajaran tersebut menjadi dasar untuk pelajaran selanjutnya, pemantapan materi disajikan dalam berbagai bentuk seperti siswa diberikan banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya akan siap menerima materi baru.
5. Integrative reconciliation
Yaitu bahwa ide atau pelajaran baru yang dipelajari itu harus dihubungkan dengan ide pelajarn yang telah dipelajari lebih dulu.
Pada suatu saat, siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama yang diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausubel mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative. Yaitu materi pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga guru dapat menggunakan konseptual hirarki yakni dari atas ke bawah selama informasi disajikan.
D. Penerapan Teori dalam Pembelajaran Matematika di Indonesia Tercinta
Prinsip pembelajaran dan pengajaran Ausubel digunakan dalam pengajaran dengan memberikan perhatian kepada dua perkara berikut:
a. Ausubel berpendapat bahwa guru dapat menggunakan pembelajaran resepsi (penerimaan) atau model pengajaran ekspositori kerana guru dapat menyampaikan materi secara lengkap dalam susunan yang teratur.
b. Terlebih dahulu guru mengingat semula konsep yang telah dipelajari dan mengaitkannya dengan konsep baru yang akan dipelajari serta mengingatkan mereka tentang perkara-perkara penting dalam proses pembelajaran.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pandangan Ausubel agak berlawanan dengan Burner yang beranggapan bahwa belajar adalah proses menemukan sesuatu dengan sendirinya (discovery learning). Yaitu sesuai dengan hakikat manusia sebagai seseorang yang secara aktif mencari dan menghasilkan pengetahuan serta pemahaman yang sungguh-sungguh bermakna. Sedangkan menurut Ausubel, kebanyakan orang belajar terutama dengan menerima dari orang lain (reception learning).
Menurut Ausubel, siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri sehingga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Inti dari belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori, yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information). Ausubel menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan juga pentingya pengorganisasian materi pelajaran yang dikaitkan dengan struktur yang terdapat di dalam advance organize.
Berbeda dengan Ausubel, bruner menyatakan bahwa dalam pembelajaran penemuan, pelajar memperoleh ilmu secara bebas melalui usaha sendiri. Pelajar menggunakan rumusan dan analisis sendiri melalui eksperimen serta pemikiran intuitif kerana ilmu tidak diberikan oleh guru. Sedangkan Ausubel mementingkan pembelajaran bermakna kerana proses ini menghubungkan antara pelajaran baru dan pelajaran lama yang tersedia dalam struktur kognitif pelajar
Kedua pandangan tersebut sangat mirip yakni sebuah konstruksi pengetahuan baru yang sesungguhnya bergantung pada sistem pembelajaran yang bermakna. Hanya saja discovery learning Burner menonjolkan model berpikir induktif sedangkan reception learning Ausubel menonjolkan model berpikir deduktif.
Daftar Pustaka
http://www.scribd.com/doc/47235212/teori-belajar-mengajar-menurut-jerome-s-bruner
Nasution,s. 2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyati,
Psikologi Belajar,
Yogyakarta: C.V. Andi Offset. 2005
Nasution, S.,
Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar
, Jakarta:Bumi Aksara. 2000Simanjutak, Lisnawaty,
Metode Mengajar Matematika
, Jakarta: PT Rineka Cipta.1993Soemanto, Wasty,
Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan
,Jakarta: PT Rineka Cipta. 1998Syah, Muhibbin,
Psikologi Belajar
, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006